Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga saya bisa menelusuri jalanan dari Jawa Timur ujung barat (Ngawi) ke ujung timur (Banyuwangi). Dan yang membuatnya lebih spesial lagi, saya pergi naik kereta! Sebelumnya rekor naik kereta terlama saya adalah sekitar 4 jam dari Ngawi ke Surabaya. Padahal perjalanan Ngawi-Banyuwangi akan menghabiskan waktu kurang lebih 12 jam! Daaan.. keretanya adalah kereta ekonomi!

Di tiket yang sudah saya beli seminggu sebelumnya tercetak pukul 10.17 di jam keberangkatan. Tapi faktanya kereta Sri Tanjung yang akan membawa saya itu baru datang jam 11.00. Dengan tiket di tangan dan petunjuk Oline (travel mate kali ini) tentang cara mencari gerbong dan tempat duduk di kereta ekonomi, tetap saja saya nyasar bolak-balik ke beberapa gerbong sampai akhirnya menemukan kereta 5 tempat duduk nomor 22 D. Itupun Oline harus memanggil-manggil saya yang hampir melewatkan tempat duduk dan terus saja berjalan justru menuju kereta 6.  Mungkin karena saya belum pengalaman kali ya, ditambah tulisan angka 5 yang seuprit di pojokan pintu. Membuat saya lumayan bingung juga nyari tempat duduk.

Daaan.. perjalanan panjang pun dimulai. Awalnya saya masih rajin motoin setiap stasiun tempat kita berhenti. Karena saya dan Oline bisa menempati tempat duduk kosong di dekat jendela. Tapi baru beberapa stasiun terlewati, si empunya tempat duduk datang. Jadilah rumpi-rumpi ria, makan ini itu, ngomentarin semua hal diluar jendela dan tidur menjadi agenda kami, nggak ada lagi foto-foto stasiun atau minimal menghitung berapa banyak stasiun yang kami lewati dari ujung barat Jatim sampai ujung timur. Jangan tanya berapa banyak pedagang asongan yang melewati kami dan menawarkan aneka makanan dan benda-benda murah meriah selama perjalanan. Tak terhitung! Ya memang begitulah kereta ekonomi, jangan harap bisa tidur nyenyak bahkan saat malam sekalipun karena pedagang asongan akan setia menemani.

Naik kereta api.. tut.. tut.. tut..
Naik kereta api.. tut.. tut.. tut..

Puluhan kota kami lewati. Termasuk diantaranya Sidoarjo dan tanggul lumpur Lapindo. Miris rasanya ketika melewati tanggul tinggi di kiri jalan dan rumah-rumah yang dihancurkan lalu ditinggal pemiliknya di sisi jalan yang lain. Seperti kota mati, tanpa aktivitas sama sekali. Selanjutnya Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang.. dan beberapa stasiun kecil yang saya tak hafal namanya. Intinya saya akhirnya sampai di stasiun Kalibaru-Banyuwangi sekitar jam 10 malam.

Oya, ada satu hal yang paling saya ingat dan syukuri dari perjalanan naik kereta selama itu dari Ngawi ke Banyuwangi adalah akhirnya saya bisa merasakan berdiri di antara rangkaian gerbong kereta. Bagi sebagian orang mungkin biasa aja sih, tapi untuk saya yang sama sekali belum pernah merasakan, luar biasaa! Walaupun itu juga malam hari dan hanya beberapa puluh menit, tapi tetap saja iistimewaaa *Chibi mode ON*

Dan, satu tips ampuh untuk teman-teman yang akan naik kereta ekonomi untuk waktu lama, cobalah makan di kereta makan. Memang makanannya lebih mahal daripada makanan yang dijual pedagang asongan sih, tapi kita bisa dapet bonus plus plus. Plus pertama adalah tempat makannya nyaman. Plus kedua, kalau kereta makannya lagi nggak rame, kita diijinin untuk tetap duduk disana. Percayalah kalau tempat duduk yang di gerbong penumpang itu misal nilainya 6, maka nilai tempat duduk di kereta makan adalah 8. Jauh lebih nyaman! Belum lagi kalau crew kereta makannya pas baik. Waktu saya pulang misalnya, saya diijinkan untuk men-charge HP saya sampai penuh (dipinjami charger lebih tepatnya), dipinjami beberapa majalah untuk dibaca, dan diajak ngobrol sana sini, nggak akan bosen deh. Kereen!

Ujung barat hingga ujung timur.. :)
Ujung barat hingga ujung timur.. 🙂

Banyuwangi, seharusnya Banyuasin!

Oke, sekarang lanjut cerita di Banyuwangi ya. Sampai di Stasiun Kalibaru saya masih harus naik bis umum kurang lebih 1 jam baru akhirnya sampai di ujung gang menuju rumah Oline teman saya. Bayangan saya sih itu ujung gang seperti gang-gang biasa di kota, eh ternyata bukan. Itu hanya ujung jalan sebelum jalan raya Banyuwangi-Surabaya. Untuk menuju rumah Oline masih butuh waktu kurang lebih 45 menit dengan motor. Melewati perumahan, sawah dan hutan!

Ya, bayangpun coba. Hampir jam 12 malam dan kami bertiga (saya, Oline dan ayah Oline yang jemput kami) lewat tengah hutan belantara. Satu-satunya ‘hiburan’ adalah langit yang malam itu keren banget banget banget. Bintang-bintang terlihat jelas tanpa mendung sedikitpun. Makanya saya lebih banyak lihat ke atas daripada ke samping kanan kiri. Serem euy!

Sampai rumah Oline, seperti yang saya temui di setiap perjalanan, keramahan menyambut dengan hangat. Ibu dan adik Oline tak terasa seperti orang asing lagi. Selain karena kami masih satu propinsi sehingga bahasanya sama walaupun logat agak berbeda, dasarnya ibu Oline emang ‘rame’ banget orangnya. Persis anaknya lah. Haha.

Hal pertama yang saya temui di Banyuwangi adalah fakta bahwa air disana yang biasa digunakan untuk mandi, masak, dll  rasanya bukannya wangi seperti nama kotanya melainkan agak asin! Jadilah saya berpikir bahwa kenapa kota itu tidak bernama Banyuasin saja ya?!

— Bersambung 🙂