Berkali-kali saya mengganti judul tulisan ini, dari yang bahasanya puitis, bahasa formil, bahasa memelas, sampai bahasa yang bernada menuntut seperti yang akhirnya menjadi judul tulisan ini. Saya terlalu bingung menulis judul yang bisa membuat pak bupati Bojonegoro yang sedang menggalakkan digital society tergerak untuk meng-klik dan akhirnya membaca tulisan ini. Semoga berhasil, tolong bantu cc-kan ke pak bupati untuk siapapun yang telah membaca tulisan ini ya. Matursuwun..

**

Kata lagu, .. there can be miracle when you believe. Dan saya adalah satu diantara sekian banyak orang yang percaya pada miracle alias keajaiban itu. Apalagi saat ini, ketika rasa-rasanya saya dan delapan orang calon pahlawan yang akan saya tulis dalam catatan ini memang hanya memiliki kepercayaan akan keajaiban sebagai amunisi terakhir menanti detik-detik tanggal delapan belas nopember dua ribu tiga belas.

Ini adalah kisah tentang delapan orang calon pahlawan dari sebuah kampung kecil di kota minyak kaya raya yang selalu saya banggakan, Bojonegoro. Jika dalam dua puluh empat jam setelah ini mereka mendapat keajaiban, maka mereka akan benar-benar menjadi pahlawan. Dan sebaliknya, jika dalam dua puluh empat jam mendatang mereka tidak mendapat keajaiban yang ditunggu-tunggu, mereka akan tetap menjadi para calon pahlawan. Atau lebih tepatnya, calon pahlawan yang tidak sempat turun ke medan laga dan harus mati bunuh diri.

Ah, tidak usah berbelit-belit. Kita mulai saja kisah mereka ya? Jangan membayangkan saya sedang ingin menulis cerita kepahlawanan hanya karena ini bulan Nopember, jangan pula membayangkan saya sedang menulis cerita fiksi. Karena selain saya tak pandai menulis fiksi, saya memang sedang ingin menghadirkan tulisan yang amat serius, faktual dan sangat butuh solusi dari pembaca sekalian.

Delapan orang yang saya sebut ‘calon pahlawan’ itu adalah delapan siswa SMK Negeri 1 Margomulyo. Delapan siswa yang menggambarkan dengan sempurna bagaimana semangat para siswa dari sekolah yang baru berdiri kurang dari dua tahun itu. Merekalah yang membuat saya bangga, miris, geram dan marah dalam satu waktu, meski saya tak mengenal masing-masing mereka secara personal. Beberapa minggu yang lalu, mereka dengan segenap keterbatasan yang melekat, dengan label bocah ndeso yang seakan menempel di jidat masing-masing, dengan semangat dan ide cemerlang, mengikuti sebuah lomba riset tingkat nasional. Institut Pertanian Bogor pelaksananya. Peserta yang lolos seleksi akan mengikuti sebuah event keren berskala nasional: Kemah Riset Nasional 2013.

Betapa bahagia dan tak percaya mereka ketika sebuah pengumuman di laman internet menyebutkan karya mereka lolos seleksi. Dua tim dari sekolah yang bahkan belum memiliki bangunan sekolah mandiri dan masih harus menumpang ke sebuah SMP disana itu berhasil lolos, menjadi dua diantara tiga puluh empat tim dari seluruh Indonesia. Wow! Sebuah pencapaian luar biasa untuk mereka. Tapi sekaligus tantangan yang tak kalah luar biasa.

Kemarin saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, beberapa anak tekun melakukan penelitian mereka. Sangat sabar menanti tetesan demi tetesan zat etanol yang mereka buat dari talas dan buah mangga. Sebuah ide energi terbarukan yang membuat panitia Kemah Riset Nasional memberi mereka kesempatan menjadi bagian dari tiga puluh empat tim dari seluruh Indonesia yang terpilih. Sayangnya, tak hanya tentang implementasi riset mereka yang jadi soal. Tantangan yang begitu nyata di depan mereka adalah satu: Bagaimana caranya bisa berangkat ke Bogor untuk mengikuti Kemah Riset Nusantara?

Dana pribadi? Jangan banyak berharap, membayar SPP yang hanya seratus ribu rupiah tiap bulan saja mereka sering terlambat.

Dana dari sekolah? Tidak cukup

Dana dari sponsor? Sudah beberapa pihak coba dimintai sponsor, hasilnya nihil. Semua kantor, perusahaan dan badan usaha yang diminta bantuan sama sekali tak menganggap anak-anak itu layak mendapat perhatian dan suntikan dana.

Inilah yang membuat saya geram atas kenyataan ini.

Mereka, delapan siswa pilihan yang siap berlaga membawa nama Margomulyo, nama Bojonegoro, di kancah lomba tingkat nasional, harus bersiap mengubur mimpi mereka hanya karena uang. Mereka, delapan siswa yang sebenarnya sangat berpotensi menjadi penemu-penemu terkemuka di masa yang akan datang, harus menelan kenyataan pahit: riset pertama mereka yang berhasil lolos seleksi tingkat nasional terancam batal ditindaklanjuti.

Kemarin ketika mengantar tenda pinjaman dari seorang teman saya yang rencananya akan mereka pakai di Kemah Riset Nasional, dengan penuh semangat mereka sedang melaksanakan riset mereka, menyiapkan peralatan-peralatan eksperimen mereka. Mereka tertawa, mengulang-ulang eksperimen, menyimpulkan ini itu, seakan mereka akan benar-benar pergi nun jauh ke Bogor sana. Ah, tidakkah kesempatan itu terlalu berharga untuk dirampas dari mereka? Saya benar-benar buntu. Tak bisa membantu apapun untuk mereka kecuali meminjamkan tenda (yang mungkin tidak jadi mereka pakai), selebihnya, nothing.

Saya membuat tulisan ini sebagai pengganti proposal sponsor sebenarnya. Melalui tulisan singkat ini saya ingin Bojonegoro tahu, saya ingin dunia tahu, bahwa mereka, delapan anak Margomulyo yang siap berlaga membawa eksperimen mereka ke kancah nasional, tak punya uang untuk sekedar membeli tiket kereta ekonomi tujuan Bogor..

Bapak bupati, kepala dinas pendidikan, CEO blok migas Bojonegoro, pemerhati pendidikan atau siapapun yang seharusnya tidak tinggal diam atas hal ini, semoga bersedia meluangkan sedikit perhatian untuk anak-anak bangsa yang memiliki dedikasi tinggi pada ilmu pengetahuan namun tidak memiliki cukup uang untuk menunjukkan pada dunia seperti apa kemampuan mereka. There can be miracle when you believe … Semoga ada keajaiban menghampiri delapan calon pahlawan Margomulyo itu dalam dua puluh empat jam dari sekarang..

Anda punya solusi? Bagi solusinya pada saya ya..

*di tengah-tengah penulisan artikel singkat ini, saya meng-sms pembina ke delapan siswa tersebut dan menanyakan perkembangan persiapan Kemah Riset Nasional, jawabannya adalah jawaban yang tidak pernah ingin saya dengar/baca: semua usaha gagal, Mbak. Kita NGGAK JADI ke Bogor… Semoga masih ada keajaiban menghampiri delapan calon pahlawan dari Margomulyo.. Aamiin..