Update (8/6): Alhamdulillah tulisan ini menjadi peringkat ketiga dalam Lomba Blog Komunitas Sejuta Guru Ngeblog (KSGN).

Beberapa bulan terakhir SMPN 1 Margomulyo yang tak lain adalah almamater saya dan juga SMKN Margomulyo tempat saya mengajar banyak menjadi latar cerita-cerita saya. Sejatinya dua sekolah ini adalah dua lembaga yang masih berada di satu tempat, dan tentu saja: di kampung pelosok nusantara!

Seberapa kampung-kah Margomulyo?

Umm.. setidaknya hanya ada dua warnet di seantero kecamatan, itupun yang satu adalah warnet PIK (Pusat Internet Kecamatan) milih Kominfo, perlu waktu 2 jam untuk sampai ke kota kabupaten, beberapa desa di kecamatan ini ada di tengah hutan belantara, lebih banyak jalan tanah daripada jalan aspal, mayoritas rumah berlantai tanah, tidak ada gedung bertingkat, tidak ada Indomaret, Alfamart, SPBU apalagi dealer motor. Ya, gitu deh.

sekolah kami memang ndeso, tapi kami bermental juara! :)
sekolah kami memang ndeso, tapi kami bermental juara! 🙂

Tapi jangan salah, dari kampung ndeso ini, banyak prestasi terukir, loh. Saya pernah menulis tentang Senthong Sekarjati dan seniman-seniman muda Margomulyo nya. Yang terbaru, perwakilan SMP-SMK Margomulyo, seperti tahun-tahun sebelumnya, bakal beraksi di Pekan Seni Pelajar dan FLS2N tingkat provinsi Jawa Timur, untuk kesekian kalinya menjadi duta kab. Bojonegoro. Yeay!

Salah satu penampilan seniman muda Margomulyo di Grand City-Surabaya.
Salah satu penampilan seniman muda Margomulyo di Grand City-Surabaya.

Dua tahun lalu, SMKN Margomulyo juga menjadi satu-satunya sekolah di Bojonegoro yang berhasil menjadi salah satu peserta Kemah Riset Nasional di IPB Bogor. Belum lagi sederet prestasi lain baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Ini menjadi bukti bahwa tak peduli dimana sekolah berada, berkarya dan berprestasi adalah harga mati. Yeah!

Lalu bagaimana caranya sekolah kampung pelosok nusantara tetap bisa berprestasi di tengah keterbatasan fasilititas dan hal-hal lain?

Yang jelas, dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif. Pendidik harus sebisa mungkin menemukan beragam kesempatan yang bisa memberi ruang para murid untuk berkarya. Sekolah di desa bukan berarti ada perbedaan perlakuan di setiap ajang kompetisi. Walaupun bukan rahasia umum jika hendak mengikuti sebuah perlombaan untuk pertama kalinya, sekolah ndeso akan dipandang sebelah mata dan diremehkan. Tapi jika sudah berhasil menunjukkan kemampuan terbaik apalagi sampai menyabet juara, semua mata akan tertuju pada jagoan yang tak dikira itu.

Next, sebuah cara sederhana dengan efek luar biasa yang bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah pinggiran adalah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Era digital seperti sekarang ini benar-benar memberikan keuntungan luar biasa bagi yang bisa memanfaatkan secara positif. Sebuah contoh sederhana, sekolah saya pernah mengalami kesulitan pendanaan untuk sebuah event berskala nasional yang kami ikuti, dana dari sekolah dan Pemkab belum cukup untuk membawa tim SMKN Margomulyo berlaga di kegiatan tersebut. Akhirnya, saya membuat artikel ini di blog dan hasilnya sungguh di luar bayangan. Ada seorang donatur yang berbaik hati menanggung lebih dari 80% kebutuhan dana kami!

Jadi jika boleh jujur, tidak ada alasan bagi siapapun atau sekolah manapun untuk tidak berprestasi. Keterbatasan dan perbedaan kondisi baik sosial, geografis serta ekonomi jelas tidak akan pernah sama di seluruh negeri ini. Tapi yang jelas, pendidikan berkualitas harus hadir pada setiap kelas di negeri ini. Entah di gedung megah di tengah kota atau sekolah sederhana di tengah rimba, mirip sekolah tempat saya bekerja saat ini.

Sembari menanti pemerintah bergerak menuntaskan perannya, para pahlawan di sekolah pinggiran harus terus bergerak, berkarya, membuktikan pada dunia bahwa para juara juga bisa lahir dari ruang-ruang sekolah ala kadarnya.

Semangat, Indonesiaku.

Semangat, para guru pelosok negeri.

Semangat, para murid sekolah ndeso.

Bangkitlah pendidikan Indonesia!

*) Tulisan ini diikutkan dalam Tantangan Ngeblog Komunitas Sejuta Guru Ngeblog (KSGN)