“Sekarang kita bicara nama, yang penting kan buktinya. Jangan kita bikin nama yang wah tapi hasilnya nol. Nggak papa namanya Senthong, artinya kamar kalau kata orang Jawa, atau kalau kita bicara konteks sekolah maka artinya nggak lebih dari ‘sebuah ruangan’. Tapi nyatanya berawal dari ‘kamar’ sederhana ini banyak karya kita buat. Itu lebih keren daripada misal saya beri nama tempat ini Graha Sekarjati tapi tanpa karya sama sekali. Nggak ada artinya, kan?”

Itulah sepenggal kata-kata dari Adi Sutarto, S. Pd, atau yang biasa saya panggil pak Adi.

Beliau tak lain adalah guru saya ketika SMP, yang kini menjadi rekan kerja saya. Sebagai guru seni budaya dan salah satu tokoh seniman yang cukup punya nama di Bojonegoro, Jawa Timur bahkan nasional. Karya-karya pertunjukan, desain batik dan pergelaran seni beliau sudah sering ‘nampang’ di banyak tempat. Salah satu yang terbaru, desain motif batik beliau bertajuk Sekarjati (nama yang sama dengan ruang kreatif beliau di sekolah) menjadi seragam resmi Konferensi Anak Nasional 2014, setelah sebelumnya menjadi motif batik resmi kabupaten Bojonegoro.

Sekar Jati atau yang dalam bahasa Jawa berarti bunga Jati, sejak bertahun-tahun lalu telah menjadi brand untuk sebuah ruang kelas bernuansa hitam di sudut SMP Negeri 1 Margomulyo, Bojonegoro. Tidak ada meja atau kursi siswa di ruangan yang semua hiasannya dibuat oleh siswa tersebut, ketika pelajaran, semua duduk lesehan sambil sibuk membuat aneka pertunjukan ataupun hasil karya kesenian.

Karena dipakai sebagai ruang laboratorium Seni, maka jangan heran kalau suatu saat Anda ke sekolah yang terletak di perbatasan kabupaten Bojonegoro dan Ngawi ini maka theme song yang sering terdengar di seantero sekolah adalah pukulan gamelan atau oklik yang sering berkumandang dari ruang ini. Atau jangan heran kalau ketika Anda melangkah ke lapangan sekolah, deretan kain batik tulis tengah dijemur. Semuanya berasal dari sebuah ruang kecil yang penuh cerita bernama Senthong Sekarjati.

'Kamar' Sekarjati
‘Kamar’ Sekarjati

Pak Adi, melalui Laboratorium Seni nya, telah berhasil mewujudkan sebagian dari berbagai mimpi yang sering beliau utarakan sejak sepuluh tahun lalu, ketika saya masih berseragam putih biru: ”Pak Adi pengen suatu saat ketika orang menyebut Bojonegoro, maka mereka juga akan mengingat Margomulyo. Disini kita punya suku Samin yang fenomenal, disini kita punya satu-satunya SMP di kecamatan, disini kita punya banyak stok anak-anak kreatif yang tinggal dikembangkan bakatnya maka jadilah ia mutiara dari Margomulyo”.

Pak Adi sedang mengajari gamelan ke anak-anak yang akan menjadi delegasi lomba Musik Tradisi FLS2N 2015.
Pak Adi sedang mengajari gamelan ke anak-anak yang akan menjadi delegasi lomba Musik Tradisi FLS2N 2015.

Benar saja, 10 tahun setelah kalimat itu terucap, ketika saya kembali kesini bukan sebagai siswa melainkan sebagai guru, ketika SMP Negeri 1 Margomulyo masih menjadi satu-satunya SMP di kecamatan Margomulyo, dan ketika bangku, papan tulis, lantai, taman, dan semua hal di tempat ini masih belum banyak berubah, ternyata nama Margomulyo di Bojonegoro bahkan di Jawa Timur sudah bukan ‘nama asing’.

Pengumuman-tulis-tangan, sederhana tapi keren!
Pengumuman-tulis-tangan, sederhana tapi keren!

Dan salah satu penyumbang melejitnya popularitas Margomulyo adalah para seniman muda yang lahir dari Senthong Sekarjati, ‘kamar’ sederhana di kampung pelosok nusantara tempat kami tinggal. Sebut saja Tutik, pelukis berbakat yang desain motif batiknya berhasil membawanya jadi duta Bojonegoro untuk FLS2N Jawa Timur. Atau Wahyu, Andika, Shinta dan kawan-kawan yang dua tahun berturut-turut jadi juara pertama FLS2N cabang Musik Tradisi.

Saya sampai merinding ketika ikut mengantar kontingen lomba FLS2N dari SMP Negeri 1 Margomulyo tahun lalu. Rasanya 10 tahun lalu ketika saya cukup sering jadi langganan kontingen lomba, tak ada satupun kontingen dari sekolah lain yang ‘ngeh’ sama SMP Negeri 1 Margomulyo. Kala itu membicarakan Margomulyo di Bojonegoro tak lebih dari sekedar membicarakan sekolah ndeso, sekolah perbatasan, orang Samin, dan seterusnya. Paling mentok pun paling-paling saya Cuma masuk 15 besar di olimpiade Sains atau Matematika. hiks.

Salah satu penampilan seniman muda Margomulyo di Grand City-Surabaya.
Salah satu penampilan seniman muda Margomulyo di Grand City-Surabaya.

Tapi tahun lalu, bahkan ketika kontingen SMP Negeri 1 Margomulyo belum tampil, banyak sekali guru atau official dari tim sekolah lain ‘menyambut’ sekolah kami dengan: “Wiiih juara umum tahun lalu nih, tahun ini nampilin apa?”

Deg! Antara speechless, terharu, bangga dan rasa bersalah yang luar biasa dalam saya rasakan. Pak Adi dengan mimpi sederhananya ‘ingin membuat Margomulyo dikenal’ ternyata sudah sejauh ini membuktikan tradisi kemenangan. Mimpi yang sepuluh tahun lalu belum bisa saya bantu wujudkan, sekarang benar-benar jadi kenyataan. Inilah salah satu yang membuat saya selalu ingin pulang kampung, ingin memperkenalkan Margomulyo.

sebagian hasil karya desain batik siswa SMP Negeri 1 Margomulyo
sebagian hasil karya desain batik siswa SMP Negeri 1 Margomulyo

Pak Adi melalui Senthong Sekarjati-nya berhasil menjadikan Margomulyo sebagai ‘pabrik’ seniman muda berbakat. Jangan heran kalau teman-teman kelak sedang menghadiri acara rutin Pekan Seni Pelajar Jawa Timur, atau gelaran Pentas Seni di ulang tahun provinsi Jawa Timur, teman-teman akan bertemu anak-anak muda berasal dari Margomulyo-Bojonegoro. Ya, itulah mereka para seniman muda yang lahir dari ‘kamar’ sempit di sekolah kami. Para seniman muda kebanggaan Bojonegoro.

Pak Adi (kaos merah) saat memberi sambutan di acara Festival Musik Oklik di Margomulyo.
Pak Adi (kaos merah) saat memberi sambutan di acara Festival Musik Oklik di Margomulyo.

Kebanyakan dari mereka tak jauh beda dengan saya dulu ketika masih SMP. Anak ndeso, dari keluarga sederhana, sama sekali tak gaul masalah IT, harus nunggu sepatu jadi butut dan menganga untuk bisa ganti yang baru, uang saku tak lebih dari Rp. 1000,- dan kami lahir di tanah yang sama. Di tanah yang mulia, tanah menuju kemuliaan, dalam bahasa jawa: Margomulyo. Bedanya mereka jauh lebih konsisten, fokus, terarahkan dengan baik, dan cerdas memanfaatkan kesempatan.

Waktu memang tak bisa diputar kembali, sedalam apapun saya menyesal dulu belum sempat menghadirkan pencapaian yang sama dengan mereka di usia saya dulu, satu-satunya cara untuk ‘melunasi’ hutang itu adalah dengan berkarya dan mengabdikan diri untuk tanah kelahiran, tanpa menunggu nanti.

Terima kasih atas inspirasi mimpi-10-tahun-yang-jadi-kenyataan, pak Adi.

* Artikel ini diikutsertakan pada kompetisi Blog Nurul Hayat : Nyala Inspirasi untuk Negeri