wp-1477611625403.jpeg

 

Setidaknya 7 tahun saya mengikuti euforia Hari Jadi sebuah kabupaten dari dekat bahkan menjadi bagian darinya. Entah itu peserta upacara, pengunjung stand pameran, reporter media sosial atau setidaknya berdiri di loteng rumah untuk menonton pesta kembang api sambil merapal target pencapaian ini itu. Mulai jaman putih abu-abu hingga jaman perjuangan jadi calon guru. Mulai masa jadi debater hingga periode jadi redaktur.

Sayangnya, itu bukan di Bojonegoro. Seumur-umur belum pernah saya ikut merayakan Hari Jadi Bojonegoro di event  besarnya, 70 kilometer jauhnya di kota kabupaten sana. Paling banter cuma nonton siaran langsung nya di televisi, dengan kualitas sinyal TV lokal yang aduhai menguji kesabaran.

Tapi tahun ini beda. 20 Oktober lalu untuk pertama kalinya saya ikut Upacara Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro ke-339, dengan undangan resmi dari Sekretariat Daerah pula. Alamak, yang bener aja?!

Datanglah saya kucluk-kucluk ke alun-alun Bojonegoro, bersama para ranger Margomulyo Youth Movement (MYM) yang kebetulan juga ada acara di gedung pemkab. Menjadi yang dipanggil di salah satu mata acara dan menyimak Kang Yoto, bupati kami yang mulai trending di tingkat nasional bahkan dunia menyampaikan pidato resmi hari jadi Bojonegoro dari dekat.

As usual, kang Yoto berhasil membawakan pidato ‘rasa Bojonegoro’, membahas hal-hal krusial hingga isu internasional dengan logat cah Jonegoro dan bahasa membumi. Banyak kutipan menarik dari pidato beliau tapi bukan itu yang paling mencuri perhatian saya hari itu, melainkan acara tambahan setelah upacara.

Tepat ketika saya hampir beranjak dari tribun undangan karena merasa nothing to do, pertunjukan besar itu dimulai. Sekian detik setelah protokol membacakan mata acara dan saya belum sepenuhnya paham apa yang akan terjadi, ratusan pendekar silat berlari menyerbu alun-alun, memakai atribut lengkap perguruan dan wait … mereka tidak hanya berasal dari satu perguruan! Beraneka rupa seragamnya, bendera perguruan berkibar-kibar dibawakan para pemuda yang tak lain adalah anggota masing-masing perguruan, berlari mantap menuju tempat paling strategis tepat di depan para undangan dan pejabat daerah.

wp-1477621764355.jpeg

Duhai, sabotase kah? Semacam tawuran berencana? Perang antar perguruan silat tepat ketika Bojonegoro sedang bersiap menjadi tuan rumah Festival HAM 2016? Kenapa puluhan personil keamanan yang bertugas justru diam saja?

Apalagi setelah memasuki alun-alun, ratusan pesilat itu sigap memamerkan jurus-jurus andalan dengan lihai, beberapa bahkan membawa tongkat sebagai senjata. Mayoritas undangan langsung berdiri, tak terkecuali saya. Bukannya lari menjauh, semua mata seolah tersihir gerak dinamis para pendekar, reflek mengarahkan kamera dan bergerak mendekat, berebut tempat dengan para awak media.

wp-1477611799522.jpeg

Disanalah saya hari itu, menjadi saksi deklarasi Kampung Pesilat Bojonegoro.

Gamelan mengalun merdu mengiringi setiap gerak para pesilat yang mewakili 13 Perguruan silat se-Kabupaten Bojonegoro. Tap tap tap! Gerak demi gerak diperagakan dengan sempurna tanpa jeda, mengambil alih perhatian seluruh peserta upacara. Pertunjukan megah itu ternyata sama sekali bukan sabotase atau pertengkaran antar pesilat yang sering menghiasi khazanah perguruan silat selama ini.

Atas prakarsa Kapolres Bojonegoro AKBP Wahyu Sri Bintoro, tepat pada hari jadi Bojonegoro ke-339 tahun ini, satu sejarah baru kota ledre terukir melibatkan ratusan pendekar yang mewakili puluhan ribu anggota lain. Sebuah langkah anti mainstream dan berani, mempersatukan para pesilat yang selama ini kerap diidentikan dengan perilaku kurang terpuji dan sering tawuran, meski tentu tak semuanya. Lihat saja bagaimana ketatnya pengamanan setiap kali para pendekar melakukan kegiatan perguruannya seperti pengesahan warga baru atau sekedar konvoi di jalan raya, semua orang tentu sudah hafal yang begini, lebih baik menjaga jarak daripada bikin masalah sama mereka.

 wp-1477611799523.jpeg

Disinilah peluang itu dilihat oleh Kapolres Bojonegoro bersama jajaran Forpimda sebagai simpul pemersatu para pesilat se-kabupaten Bojonegoro. Banyaknya perguruan silat yang berpotensi menimbulkan perkelahian antar pesilat kini diarahkan menjadi modal untuk membantu kepolisian sebagai Mitra Kamtibmas sehingga tercipta keamanan dan partisipasi aktif seluruh perguruan silat di Bojonegoro yang bersatu padu.

Deklarasi itu melibatkan 13 perguruan silat yang ada di Bojonegoro yakni PSH Winongo Muda, Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Perisai Diri, IKSPI, RASA, ASAD, Pencak Organisasi, Merpati Putih, Rajekwesi, Gubuk Remaja, IPSNU PN, dan Marguluyu 151 Bojonegoro.

Tidak hanya unjuk kebolehan jurus-jurus silat, Deklarasi kampung pesilat juga diisi dengan pembacaan ikrar yang menyejukkan, sebuah komitmen bersama menjaga persatuan dan kerukunan tanpa sekat perguruan, begini isinya:

  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

  2. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila  dan UUD 1945;

  3. Meningkatkan persatuan dan kesatuan Bangsa;

  4. Menjaga dan menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban di Wilayah Kabupaten Bojonegoro;

  5. Menjalin persaudaraan dan kerukunan antar perguruan pencak silat dan diluar perguruan pencak silat.

Deklarasi ini semakin menguatkan Bojonegoro sebagai kota ramah HAM sekaligus sebuah rumah besar yang senantiasa merayakan praktek pancasila di tingkat lokal. Banyaknya perguruan silat yang terkadang dipandang sebagai pemantik kerusuhan justru dirangkul sebagai penguat simpul persatuan.

wp-1477611799529.jpeg

Semua proses berlangsung damai dan menjadi pertunjukan menarik untuk seluruh lapis generasi. Seorang balita yang memakai baju ala pendekar bahkan dengan santai ikut berguling-guling di alun-alun menirukan gaya para pendekar, sementara sang kakak takzim mengarahkan lensa kamera. Hari itu sebuah mindset baru bagi dunia persilatan dan para pendekar telah terbentuk di Bojonegoro: Perbedaan adalah pangkal dari persatuan, kekuatan yang hakiki adalah ketika ia dipakai untuk melindungi mereka yang membutuhkan, dalam hal ini keamanan masyarakat Bojonegoro.

 wp-1477611799532.jpeg

Saya bahagia akhirya bisa merasakan menjadi bagian dari peringatan hari jadi kabupaten saya sendiri, tapi saya jauh lebih bahagia bisa merasakan aura persatuan yang kental sepanjang acara Deklarasi Kampung Pesilat Bojonegoro berlangsung.

Harapan itu masih ada, dan simpul persatuan yang terjalin 20 Oktober lalu adalah langkah besar untuk memulainya. Karena ikrar yang dibaca lantang itu bukan sembarang ikrar, melainkan ikrar para pendekar; petarung sejati penjaga persatuan.

img-20161020-wa0022-702x336
Bojonegoro Kampung Pesilat , google image